Mungkin Kita Khususnya orang Jawa pasti mengenal istilah Nyadran, Nyadran berasal dari kata Sraddha yang berarti mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga atau Nyekar. Kegiatan tersebut bukan ritual keagamaan (Islam), tetapi tradisi dalam kebudayaan Jawa. Sejarawan dari Belanda Zoetmulder dalam bukunya berjudul Kalangwan menjelaskan, awal mula upacara Sraddha (Nyadran) ditujukan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada zaman Majapahit. Kegiatan yang dilaksanakan setahun sekali tersebut dilestarikan secara turun-temurun.
   Dalam perkembangannya upacara Sraddha  tidak hanya untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi saja,  tetapi masyakat memanfaatkan waktu tersebut untuk mengirim doa bagi  arwah para leluhurnya. Setelah agama Islam masuk ke Tanah Jawa, terjadi  akulturasi budaya Jawa dan Islam yang masih dapat kita saksikan hingga  sekarang. Akulturasi budaya tersebut menjadi saksi abadi strategi jitu  para sunan ‘Wali songo’ terutama Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama  Islam ke tengah-tengah masyarakat yang sudah memeluk suatu ajaran tanpa  melalui pemaksaan kehendak, apalagi pertumpahan darah.  
  Sunan Kalijaga yang terkenal sakti  mandra guna tetap memilih cara damai untuk menyebarkan ajaran agama  Islam. Strateginya menunjukkan kedalaman berfikirnya dan kematangan  ilmunya yang sangat luar biasa. Agar masyarakat yang sudah lama memeluk  salah satu agama tersebut dapat menerima ajaran agama Islam secara  sukarela, Sunan Kalijaga memasukkan ajaran Islam melalui upacara-upacara  ritual yang dilaksanakan masyarakat, termasuk upacara Sraddha. 
  Sunan Kalijaga mengemas upacara Sraddha  (Nyadran) dalam nuansa islami yang dijatuhkan setiap bulan Ruwah  sebelum bulan Puasa. Kegiatan Nyadran bukan lagi untuk mengenang  wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi, tetapi lebih bersifat acara silaturahmi  yang diisi kegiatan bersih-bersih makam, kenduri dengan doa-doa islami  dan tausyiah.
   Sesaji dalam kenduri merupakan  bahasa symbol. Ketan, kolak, dan apem yang menjadi makanan khas saat  Nyadran memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotan),  kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem (afwam)  sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Bagi masyarakat Jawa  yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan  apem memang selalu hadir dalam setiap upacara/slametan yang terkait.
   Untuk upacara tabur bunga  (nyekar) di batu nisan para leluhur, murni kegiatan masyarakat yang  masih terpengaruh ritus agama lamanya. Hal tersebut kala itu memang  masih dibiarkan oleh Sunan Kalijaga, termasuk kenduri, karena jika  dilarang, jelas akan menimbulkan gejolak yang bisa berakhir dengan  penolakan ajaran agama Islam.  Kemasan islami pada  tradisi Nyadran  pada bulan Ruwah dan tradisi padusan pada akhir bulan Ruwah,  sehari menjelang bulan Puasa sebenarnya punya tujuan khusus, menyiapkan  fisik dan mental masyarakat guna menghadapi jihad akbar selama  bulan  Ramadhan.
  Nyadran yang berkaitan erat dengan  arwah, untuk mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan mati  sebagaimana para leluhurnya. Karena itu masyarakat harus mencari bekal  sebanyak-banyaknya untuk menghadap Allah dengan melaksanakan ajaran  agama Islam sebagaimana sabda Rasulullah, beribadah lah sebaik mungkin  seolah engkau akan mati esok hari.  Dan, bulan Puasa merupakan  kesempatan emas mengumpulkan bekal dan meningkatkan ketakwaan kepada  Allah SWT.
  Masyarakat semakin dimantabkan  persiapan lahir batinnya dengan kemasan tradisi Padusan.  Tradisi ini ada benang merahnya dengan kebiasaan orang Jawa ketika akan  melakukan laku prihatin, yakni adus banyu suci perwita sari,  sekaligus mengikrarkan niatnya untuk menjalankan laku prihatin yang  ditandai dengan membuang semua kotoran yang melekat di jiwa dan raga  (mandi besar). Dalam konteks budaya Jawa, ibadah puasa selama bulan  Ramadhan termasuk laku prihatin sehingga harus ada ikrar yang ditandai  dengan laku adus banyu suci perwitasari.
    Padusan sebagai bukti telah  berazam (berkendak) untuk menjalankan ibadah puasa sepenuh hati. Tekadnya sudah bulat untuk menjalankan perintah Alloh SWT,  jihad akbar.? Dalam titik ini, kaum muslimin dan muslimat sudah dalam  posisi puncak siap berjuang sampai mati sekalipun dalam menghadapi nafsu  perutnya, nafsu birahinya dan nafsu-nafsu duniawiah lainnya yang selalu  membutakan hati. Semoga ini bisa menjadi pemahaman bagi kita semua khususnya umat Islam tentang arti dan makna Nyadran yg selama ini kita lakukan.
  Mari kita bersama-sama menjalankan ibadah puasa di bulan penuh hikmah, penuh berkah, rahmat dan ampunan ini dengan meluruskan niat Lillahita’ala agar  kita bisa menjadi golongan hamba Alloh  SWT yang bertakwa... Alloh SWT Yang Maha Mengetahui tidak  hanya sekedar memerintah, namun juga memberi banyak kemewahan bagi  umat-Nya yang ikhlas memenuhi perintah-Nya hingga harus menahan derita  karena desakan-desakan nafsu angkara murkanya. Kemewahan tersebut  diantaranya, pahala orang berpuasa akan diterima langsung oleh Allloh SWT,  setiap kebaikan dari umat-Nya akan dilipatgandakan balasannya dan bonus  maha menggiurkan berupa malam lailatul qodar yang hanya akan diberikan  kepada umat-Nya yang dapat menjalankan ibadah puasa sebagaimana yang  diinginkan-Nya.
  Karena itu sungguh keliru bila ada  orang berpuasa tetapi marah, benci atau berbuat buruk kepada orang yang  tidak berpuasa walaupun hanya dalam hati. Sungguh tersesat bila ada yang  berpuasa memaksakan kehendaknya agar orang lain juga harus berpuasa,  atau memaksakan kehendak agar orang lain menghormati orang yang  berpuasa, apalagi sampai melakukan perbuatan anarki, pengrusakan dan  penganiayaan.
 Dalam surat Al Baqarah ayat 183  sangat tegas Alloh SWT hanya mewajibkan menjalankan ibadah puasa bagi  pengikut Rasulullah Muhammad SAW yang beriman saja (almu’minun). Hamba  Allah yang beriman sudah memilih untuk melawan arus kelaziman demi  Allahurobbul’alamin. Lapar seharusnya makan, haus seharusnya minum,  dihina seharusnya marah, dipukul seharusnya membalas… tetapi yang  seharusnya…seharusnya... tersebut ditinggalkan semua demi Alloh  SWT.
Maka bagi yang menjalankan ibadah puasa tulus iklas Lillahita’ala jelas tidak mungkin minta untuk dihormati selama manjalankan ibadah puasa, justru sebaliknya merasa kasihan melihat orang yang tidak berpuasa karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang sangat istimewa ini.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar